Bintang Biri Itu Aku....

Surya begitu cepat berlalu, begitu cepat berganti dengan senja. Pergantian itu kurasakan sangat cepat, bagaikan daun yang tertiup angin. Sejak saat itu, sejuta rasa bersatu di hati ini. Detik demi detik, bahkan hari demi hari ku hitung perlahan. Apakah kematian itu akan merenggut semua milikku? Apakah mereka akan meninggalkan aku disaat aku membutuhkannya? Entah apa yang terlintas dipikiranku? Rasa sakit ini semakin lama semakin melumpuhkan organ-organ tubuhku. Ia merenggut semua harapanku, semua cintaku, dan semua yang menjadi impianku. Mengapa ia datang disaat aku sedang diruang kebahagiaan? Apa orang sepertiku tak pantas mendapat kebahagiaan walaupun hanya sedetik kurasakan? Senja semakin terbenam. Rembulan pun enggan muncul dari balik-balik awan. Hanya satu bintang yang tersenyum ramah kepadaku dimalam yang sunyi. Dan, hanya hembusan-hembusan angin yang menyapu dedaunan, seakan memecahkan kesunyian yang terjaga dimalam ini. **** “Rey, kamu ngapain disini? Udara malam ini dingin banget, kamu kan lagi sakit, seharusnya kamu istirahat dirumah. Tuh kan, apalagi sekarang kamu nggak pakai jaket, gimana kamu mau sembuh?!” suara itu menghilangkan semua yang menjadi khayalanku. Suara Ivan benar-benar mengejutkanku. Aku hanya terdiam tanpa suara sepatahpun. Pandanganku tak pernah bergerak sedikitpun dari bintang yang cerah itu. “Bintang, sebentar lagi…aku akan menemanimu di langit malam. Bintang, tunggu aku disana! Senyumlah kepadaku, jika nanti aku menghampirimu!” Semakin lama perkataanku semakin tak keruan. Entah apa yang sedang aku pikirkan? Banyak sekali hal-hal yang berbaur dpikiranku, bahkan telah ada beribu-ribu kata yang melintas di pikiranku. “Rey, kamu ngomong apa sih? Rey, percaya deh sama aku kalau kamu pasti sembuh! Aku yakin, semua penyakit itu bisa kamu kalahkan! Rey, kamu dengar aku, kan?” kata Ivan –kekasihku- sambil memandangku dalam-dalam seakan ingin mencoba memahami apa yang sedang aku rasakan. “Ivan, kalau saja penyakit ini nggak bisa terobati dan aku akan pergi jauh.. jauh sekali, meninggalkan kamu. Janji ya sama aku, kalau kamu nggak akan sedih! Van, kamu janji ya?” kataku sambil meneteskan airmata yang tak dapat ku bendung. Ivan pun segera mengusap airmata yang setetes demi setetes membasahi pipi ini. “Iya, aku janji kalau aku akan selalu ada bersamamu. Udah ya, kamu nggak boleh nangis lagi! Senyum dong!” mendengar kata-kata itu, hatiku menjadi sedikit damai. Akupun tersenyum untuknya dan untuk sahabatku –bintang- yang selalu hadir di setiap malam-malamku yang beku ini. Aku dan Ivan melangkahkan kaki melewati parit-parit kecil di sepanjang jalan dan menelusuri rerumputan di sudut-sudut jalan.

Tidak ada komentar: